Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Responsive Ad

Menggapai Kakao Kualitas Internasional

Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi Triwulan II tahun 2018 menyatakan bahwa kontribusi terbesar ...

Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan ekonomi Triwulan II tahun 2018 menyatakan bahwa kontribusi terbesar dari PDB pertanian tahun 2018 diberikan oleh subsektor tanaman perkebunan sebesar 38,54% dan diikuti tanaman pangan sebesar 29,66%.
Subsektor perkebunan juga berkontribusi dalam neraca perdagangan ekspor-impor Indonesia yaitu penghasil devisa tinggi setelah minyak dan gas bumi yang sudah tidak menjadi primadona. Kontribusi subsektor perkebunan masih dibawah sektor industri, karena hasil dari sektor perkebunan di Indonesia yang diekspor masih berupa barang mentah bukan barang olahan.
Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan sektor perkebunan yang memiliki peranan cukup penting untuk perekonomian Indonesia. Menurut data dari Kementrian Perdagangan kakao termasuk ke dalam sepuluh komoditi utama Indonesia.
Ekspor-Impor Kakao
Kenyataan bahwa Indonesia masih mengimpor kakao dan produk turunannya tidak bisa dipungkiri lagi.
Impor komoditi kakao  bulan Juni 2019 mencapai 18.503.621 kg, jumlah impor ini mengalami penurunan sebesar 35,31% dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 28.604.072 kg. Juga ketika dibandingkan dengan bulan Juni tahun sebelumnya maka impor bulan Juni 2019 mengalami penurunan sebesar 14,77%. Secara kumulatif perkembangan impor komoditi kakao Indonesia pada Januari-Juni 2019 adalah 128.619.350 kg.
Biji kakao dalam komoditi biji kakao, utuh atau pecah, mentah atau digongseng (HS 1801000000) adalah penyumbang jumlah impor terbesar dibandingkan dengan produk turunan lainnya.  
Berdasarkan data BPS menurut komoditinya ekspor biji kakao, utuh atau pecah, mentah atau digongseng (HS 1801000000) pada bulan Juli 2019 mengalami kenaikan sebesar 10,11%. Pada bulan sebelumnya dengan tahun yang sama adalah 4.988.747 kg menjadi 5.493.498 kg.
Perkembangan ekspor biji kakao Indonesia pada Januari-Juli 2018 dan 2019 mengalami kenaikan sebesar 21,31% yaitu dari 13.849.288 kg menjadi 16.801.085 kg. Negara tujuan ekspor terbesar adalah Negara Malaysia, dengan jumlah ekspor 13.565.500 kg pada Januari-Juli 2018 dan 14.993.745 kg pada Januari-Juli 2019.
Luas Lahan dan Produksi Kakao Indonesia
Kenaikan jumlah impor merupakan akibat dari kurangnya produksi biji kakao untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Berdasarkan data dari Kementrian Pertanian, pada tahun 2019 diestimasikan produksi kakao Indonesia akan meningkat yaitu mencapai 596.477 ton. Produksi kakao sementara pada tahun 2018 adalah 593.833 ton. Sedangkan produksi kakao pada tahun 2017 mengalami penurunan sebesar 10,29% yaitu berkurang 67.751 ton kakao dari tahun sebelumnya.
Jumlah produksi kakao yang berfluktuasi juga terjadi pada luas areal perkebunan kakao. Pada tahun 2019 diestimasikan luas areal perkebunan kakao Indonesia akan mencapai 1.683.868 hekate (ha). Luas areal perkebunan sementara pada tahun 2018 adalah 1.678.268 hektare (ha). Sedangkan pada tahun 2017 luas areal perkebunan kakao mengalami penurunan sebesar 3,62% dari tahun sebelumnya.
Penurunan produksi biji kakao dikarenakan banyak petani beralih ke tanaman lain yang nilai ekonominya lebih tinggi (misalnya jagung dan kelapa sawit). Hal ini juga dikarenakan tanaman kakao membutuhkan perawatan yang khusus dan sangat sensitif terhadap perubahan cuaca.
Tingginya impor biji kakao juga dipengaruhi oleh perbedaan kualitas antara hasil impor dengan hasil dalam negeri. Biji kakao impor lebih unggul dibandingkan hasil dalam negeri karena adanya perbedaan cuaca, proses fermentasi dan cara budidaya.
Indoensia menjadi satu-satunya negara di benua Asia yang menjadi salah satu produsen kakao terbesar di dunia. Indonesia menempati urutan keempat setelah Pantai Gading, Ghana, dan Ecuador.
Tak hanya dari jumlah produksinya, tetapi juga kualitas kakao Indonesia masih di bawah ketiga negara tersebut. Walaupun secara kualitas kakao Indonesia sudah memenuhi SNI (Standar Nasional Indonesia) tetapi masih di bawah standar kualitas kakao internasional.
Salah satu penyebab kualitas kakao yang masih di bawah standar internasional adalah kebiasaan petani kakao Indonesia tidak melakukan proses fermentasi pascapanen.
Upaya Peningkatan Produktivitas Kakao dan Turunannya
Cacao powder adalah salah satu produk turunan kakao yang digunakan untuk pembuatan makan dan minuman cokelat juga diambil dari biji kakao fermentasi. Selama ini biji kakao hanya diambil butter-nya saja, sehingga kurang memaksimalkan pemanfaatan biji kakao. Oleh karena itu, proses fermentasi merupakan tahapan yang penting. Selain itu proses fermentasi dapat membentuk aroma coklat yang kuat, menghasilkan warna coklat yang pekat, dan memperbaiki cita rasa coklat.
Industri Coklat Indonesia mengeluh karena kebutuhan industri olahan kakao kekurangan bahan baku. Hal ini membuat resah para industri olahan kakao. Para pelaku usaha olahan kakao meminta penurunan bea masuk kakao dari 5% menjadi 1% dan PPN untuk komoditas perkebunan sebesar 10% dihapuskan.
Kemetrian Perindustrian telah mengusulkan untuk pembebasan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) impor biji kakao ke Kemetrian Keuangan. Namun, untuk permintaan penurunan bea masuk kakao masih belum bisa dipertimbangkan karena para petani merasa keberatan.
Tidak hanya industri pengolahan kakao yang membutuhkan dukungan dari pemerintah, petani kakao juga membutuhkan dukungan dari pemerintah. Upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas biji kakao menduukung petani ditunjukkan dengan peremajan tanaman biji kakao berusia tua dan rusak dan pendistribusian pupuk bersubsidi khusus untuk tanaman kakao.
Peremajaan tanaman kakao dilakukan Kemetrian Pertanian sebagai upaya jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas tanaman kakao. Target peremajaan tanaman kakao adalah 10% tiap tahunnya yang dilakukan tidak serentak dan masih mempertimbangkan anggaran yang tersedia. Peremajaan tanaman kakao sudah terealisasi 69% dari total alokasi pada tahun 2019. Alokasi peremajaan ini berada di 17 kabupaten yang tersebar di 10 Provinsi dengan target 6.660 hektare (ha).
Selama ini pupuk yang digunakan untuk tanaman kakao adalah pupuk NPK. Dimana pupuk NPK diproduksi untuk semua komoditas dengan formulasi umum untuk tanaman sawit, kopi, karet, dan kakao. Perbedaan pupuk NPK dengan pupuk khusus terletak pada formulanya dimana pembuatan pupuk khusus telah mempertimbangkan zat dan formula yang dibutuhkan tanaman kakao. Distribusi awal pupuk khusus kakao ditargetkan mulai bulan Oktober sampai akhir tahun 2019 dengan sasaran alokasi di enam daerah di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah dengan luas area 37.000 hektare (ha).
Melihat prospek kakao yang cukup gemilang di mata dunia, maka potensi kakao dan produk olahannya cukup besar sebagai penghasil devisa negara. Oleh karena itu merupakan hal wajar bila kakao disebut sebagai komoditas unggulan Indonesia. Masalah kebutuhan biji kakao yang belum mencukupi kebutuhan dalam negeri bukanlah hal yang baru terjadi, tetapi sudah berlangsung lama. Tak hanya berfokus pada peningkatan produksi kakao mentah saja, tetapi juga perlu peningkatan kapasitas produksi industri olahan kakao untuk memberikan nilai tambah pada komoditas kakao dalam negeri dengan pembenahan pada teknik fermentasi.
Penulis: Amelia Syahadati
No. Hp: 083147582472
Sumber: BPS (Badan Pusat Statistik) dan Kementrian Pertanian

Reponsive Ads