Page Nav

HIDE

Gradient Skin

Gradient_Skin

Responsive Ad

Harun Rasyid : Grading adalah Solusi Tengah dalam Kisruh Daging Kerbau India

Warta24-- Penangkapan Patrialis Akbar oleh lembaga rasuah dalam kasus uji materi UU Peternakan membuka tabir kepada semua orang, yang bias...

Warta24--Penangkapan Patrialis Akbar oleh lembaga rasuah dalam kasus uji materi UU Peternakan membuka tabir kepada semua orang, yang biasanya hanya diketahui oleh para peternak atau tokohnya saja. Memang UU No. 41 Tahun 2014 yang merupakan perubahan dari UU No 18 Tahun 2009, telah membuat efek domino yang sangat besar di dua pihak yang berbeda. Yang pertama, tentu saja peternak rakyat yang makin termarginalisasi, dalam hal ini karena sulitnya dalam persaingan harga. Yang kedua, tentu saja, pemain besar dan sudah sangat mapan di republik, yakni importir sapi Australia, yang tentu saja berhubungan dengan eksportir Australia-nya itu sendiri. Penangkapan Basuki Hariman sebagai importir  sapi, setidaknya membuktikan hal tersebut.
Lalu mengapa para tokoh peternakan melakukan judicial review untuk UU No. 41 Tahun 2014 tersebut? UU No. 41 Tahun 2014 tentang perubahan UU 18 Tahun 2009, sejatinya mengatur hal mendasar pemasukan hewan ruminansia dari negara lain, yang awalnya adalah country base menjadi zone base, yang menyebabkan bebasnya daging kerbau India masuk ke Indonesia. Dan ini, tentu saja menjadi pukulan   telak bagi peternak sapi rakyat di beberapa daerah. Tentu saja, daging kerbau India, tidak masuk hanya di Jabodetabek seperti rencana awalnya. Di Jawa Barat sendiri, sudah tersebar  di pasar-pasar basah, daging kerbau itu masuk dan dipasarkan sebagai daging sapi.

Saya tidak mau membahas tentang bagaimana India yang masih belum bebas PMK (Penyakit Mulut dan Kuku) di beberapa zona, pun saya tidak mau membahas tentang masih belum berpihaknya Mahkamah Konstitusi (MK) ketika kami mengajukan uji materil untuk judicial review UU No 41 Tahun 2014, terutama mengenai perubahan aturan menjadi asas zone base dana kembali menajdi country based. Karena memang memakan waktu antara yang pro dan kontra, dalam perdebatan dan dasar-dasar argumentasi yang mungkin sama benarnya. Yang ingin saya lakukan adalah menuntut pemerintah memberlakukan UU No14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dan juga UU No 8 Tahun 1999 tetang perlindungan konsumen terutama mengenai daging kerbau India ini, bahwa masyarakat harus  tahu apa yang dibelinya itu, merupakan hak rakyat sebagai konsumen dan tentu saja kewajiban pemerintah menjamin keterbukaan informasi tersebut dalam melindungi kosumen.

Kenapa saya berbicara tentang keterbukaan informasi? Sebelum itu saya jawab, ijinkan saya mengemukakan beberapa data pendukung yang terjadi di beberapa Rumah Potong Hewan Jawa Barat, pasca daging kerbau India masuk ke Jawa barat. Di RPH Sukabumi, sebelum daging kerbau India masuk, biasa memotong 8-12 ekor satu malam, dan pasca daging India, hanya bisa memotong maksimal 2 ekor saja setiap malam. Di RPH Subang yang biasanya dilakukan pemotongan 10 ekor, saat ini hanya mampu memotong maksimal 3 ekor. Dan tentu saja, daerah lainnya pun mengalami hal yang serupa. Kalau begitu, apa kesimpulannya? Tentu saja peternak rakyat terutama dalam hal ini peternak sapi, sedang mengalami sekarat, mati segan, hidup pun susah.
Grading adalah solusi yang bisa memecah kebuntuan dalam permasalahan masuknya daging kerbau asal india. Hal ini sebetulnya merupakan kewajaran dan banyak dilakukan di negara-negara lain yakni Brunei dan Malaysia - sebagai contoh yang terdekat. Yang terjadi saat ini di pasar tradisional adalah, tidak pernah ada sebutan daging kerbau india kepada pihak konsumen, yang ada adalah daging sapi dengan harga yang sedikit lebih murah. Hal ini terjadi karena pedagang di pasar mencampur antara daging India yang sangat murah tersebut dengan daging sapi, baik itu impor ataupun local. Dan tentu saja, konsumen sangat sulit membedakan antara daging kerbau India dengan daging sapi tersebut.

Dengan terjadinya hal itu, tentu saja peternak rakyat akan sangat kewalahan dalam hal persaingan harga. Bayangkan, apabila harga sapi hidupnya saja sudah 43-45 ribu rupiah per kilogram hidup, maka karkasnya akan dijual dengan harga minimal 86-90 ribu rupiah per kilogram karkas, sedangkan daging utuhnya, pasti masih di kisaran harga Rp 115 rb/kg. Tentu saja dengan harga seperti itu, peternak rakyat akan kalah bersaing dengan daging india, meskipun isu yang dibawa adalah belum bebasnya PMK dan kesegaran dagingnya, karena sesungguhnya, konsumen tidak menyadari itu. Dalam hal ini pemerintah harus melakukan amanat dari UU No 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dan juga UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Dalam UU No. 8 Tahun 1999 sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah; Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang; Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi; dan hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Dalam hal kasus pemasukan daging india, jelas asas-asas akan hak konsumen di atas tersebut sudah dilanggar, karena pemerintah tidak memberikan regulasi yang tegas dan jelas sehingga para pedagang bebas menjual daging dengan cara mencampur daging India dengan daging sapi tersebut.
Yang kami inginkan sebagai peternak adalah bagaimana pemerintah memberlakukan fairness game dalam persaingan usaha di bidang penjualan daging sapi tersebut. Tak masalah apabila saat ini tidak bisa diubah keputusan tentang pemasukan daging yang belum bebas PMK (dalam hal ini daging India dan Brasil), dengan alasan memberangus monopoli serta penerapan harga daging murah untuk konsumen. Percayalah, kami para peternak memahami hal tersebut secara mendalam dan kami menginginkan hal yang  sama dengan apa yang diinginkan pemerintah. Akan tetapi, mari mulailah menerapkan aturan grading atau klasifikasi daging tersebut di pasaran, dengan mengeluarkan regulasi yang jelas, yang penerapannya bisa memperjelas, yang mana daging kerbau India dengan harga Rp 70 ribu/kg, yang mana daging impor Australia dengan harga Rp 95 ribu/kg atau yang mana daging segar lokal dengan harga Rp 115 ribu/kg.

Biarkan konsumen yang memilih sesuai dengan selera dan kemampuan belinya. Dengan diberlakukanya grading atau klasifikasi tersebut, sesungguhnya pemerintah sudah melindungi hak konsumen dan melakukan keterbukaan informasi publik. Kami yakin apabila hal tersebut dilakukan, maka gairah peternak rakyat terutama di Jawa barat dengan pangsa pasar terbesar, akan kembali bergeliat. Semoga masukan ini bisa didengar oleh pihak-pihak yang terkait. Peternak sejahtera, Indonesia Jaya!! Harun Al Rasyid,S.IP (Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia (PPSKI) Jawa Barat; Wakil Ketua Komite Tetap Industri Peterakan dan Kemitraan Kadin Pusat).

Pernah dimuat di Pikiran Rakyat edisi Sabtu, 4 Maret 2017.

Kuliah disini banyak beasiswanya lho..

Nama Penulis : Harun Rasyid
Gambar : pb-ispi.org
Sumber : pb-ispi.org


Reponsive Ads